Laman

Selasa, 15 Januari 2013

Penelusuran Karst Citata, Padalarang

Karst Padalarang, 9 September 2012
Minggu pagi ini menjadi waktu yang tepat untuk menggerakkan badan dan melihat citra kuasa tanganNya lewat bentuk alam yang tebentang di atas cakrawala. Jadi tidak salah jika aku menjadi salah satu peserta rombongan ‘Geotrek’ yang diadakan oleh HMTG ‘GEA’ ITB sebagai salah satu kegiatan dari rangkaian GSC. Acara GSC ini menurut seorang ‘gea’ adalah proker dwi tahunan yang bertujuan mengenalkan ilmu geologi kepada khalayak luas. Sehingga muncullah geotrek sebagai ‘ajakan’ kepada masa kampus untuk melihat semenarik apa bidang geologi ini. 
Tidak terlalu jauh (sekitar 20 km) dari Jl. Ganesha terdapat jajaran bukit karst di daerah Padalarang. Karst berarti daerah yang terdiri dari batuan kapur atau batuan gamping yang unsur utamanya adalah CaCO3 (kalsium karbonat) . Kalsium inilah yang kemudian dapat diolah menjadi berbagai pemenuh kebutuhan sehari – hari manusia, seperti cat tembok ; pasta gigi ; semen ; pemurnian gula ; dan lain – lain. Namun alangkah terlalu biasanya jika perjalanan ini hanya untuk melihat daerah pertambangan kapur tanpa suguhan fenomena alam. Proses pelarutan kapur menjadi aktor utama dalam membentuk fenomena alam yang setidaknya membuat anda tersenyum dan berdecak kagum. Proses ini terjadi dengan bantuan dua actor utama yaitu air (H2O) dan udara (O2). Merekalah yang akhirnya mengionisasi kalsium karbonat menjadi ion kalsium (Ca2+). Inilah penyebab terbentuknya natural arch bridge pada gunung Hawu, atau fenomena yang mungkin lebih familiar kita dengar stalagmit dan stalagtit pada langit – langit maupun lantai gua. Rute geotrek pun diplot untuk memamerkan fenomena tersebut dan Bapak Budi Brahmantyo bertindak sebagai ‘dalang’nya. Beliau adalah pengajar di program studi geologi ITB dan ketua kelompok riset cekungan Bandung dan Tasikmalaya. Kecintaan dan sensenya terhadap geologi mengantarnya kepada sebuah capaian yaitu penemuan fosil manusia pawon yang umurnya sekitar 9000 - 5600 tahun yang lalu.
Natural Arch Bridge Gunung Hawu
Gunung Hawu menjadi awal dari perjalanan seru nan melelahkan hari itu. Di balik cerita gunung Hawu, Pasir Pabeasan, dan Gua Pawon terdapat suatu cerita rakyat yang menurut saya mengandung kesan jenaka. Hawu, pabeasan, dan pawon merupakan kata bahasa Sunda yang berarti tungku perapian untuk memasak, tempat beras, dan dapur. Sepengetahuan anda – maupun saya sebelum mendengar cerita dari Pak Budi - pastilah legenda Sangkuriang hanya cerita asal muasal terbentuknya gunung Tangkuban Perahu. Tetapi beberapa orang ‘menafsirkan’ ketika Sangkuriang marah, tidak hanya perahunya saja yang ia tendang hingga terbalik namun sebelumnya ia sudah memporakporandakan seisi dapurnya (pawon) hingga jatuhlah tungku (hawu) berikut tempat berasnya (pabeasan). Jenaka memang jika cerita ini kita personifikasikan akan sebesar apa tubuh Sangkuriang itu. Rombongan kemudian menelusuri jalan setapak untuk naik ke atas dan saya berkesempatan berdiri tepat di bibir lubang gunung Hawu tersebut yang jaraknya dengan kaki bukit menurut Pak Budi mencapai 90 meter. Gunung Hawu ini berdiri tidak sendirian. Ia berdiri sebelah selatan dengan jajaran bukit yang membentang hingga Sukabumi dan Bogor. Jajaran bukit tersebut yang sudah terbentuk sekitar 30 juta – 28 juta tahun silam ini kemudian dikenal sebagai formasi Raja Mandala. Cara berdiri gunung ini yang begitu tegap (sekitar 700 terhadap jurus horizontalnya) dan dindingnya yang berlubang - lubang dimanfaatkan oleh para penyuka tantangan untuk berolahraga wall climbing. Skygers dan Kopasus secara rutin mengadakan latihannya di sini.
Hamparan Batu Stone Garden
Puas dengan panorama Gunung Hawu rombongan kembali ke bus untuk menuju ke lokasi kedua yaitu stone garden. Testimoni Pak Budi terhadap kawasan ini adalah sekitar jutaan tahun silam daerah ini berada di bawah permukaan laut namun karena proses pergeseran lapisan tanah sehingga lapisan ini mencuat hingga >800 mdpl. Pernyataan ini bukan bualan karena memang ditemukan fosil koral dan binatang laut pada batuan di sini. Hal yang menarik dari tempat ini adalah batuan batuan besar yang tersusun acak namun indah. Di puncaknya terdapat sebuah makam yang oleh penduduk sekitar namakan makam mbah Jambrong. Terdapat suatu keganjilan di sana karena terdapat buah batu kali yang notabene ‘asing’ di ketinggian dan daerah karst seperti itu. Diperkirakan pada zaman dahulu kala batu tersebut dibawa dan disusun melingkar oleh sekelompok orang sebagai ritual pemujaan. Isu yang beredar mengabarkan bahwa makam tersebut tak berpenghuni meskipun arah makamnya tepat aturan pemakaman kaum muslim.   
Perjalanan Menuju Gua Pawon
Beranjak dari sana kami kemudian menulusuri jalan setapak yang disebut tanjakkan frustasi. Tak heran dinamakan seperti itu karena memang terrain dan geometrinya yang cukup sulit untuk dilalui. Namun semua itu terbayar lunas ketika kami tiba di saung dekat dengan Gua Pawon untuk beristirahat dan makan siang. Tenaga dan semangat rombongan geotrek pulih kembali ketika kami menyantap makanan yang disediakan panitia sambil beberapa orang mendirikan ibadah sholat. Perjalanan berlanjut dengan kata pengantar dari Pak Budi, beliau menceritakan kisah pribadinya dalam rangka pertemuannya dengan fosil manusia pawon. Benak pasti bertanya, apakah ia spesies yang berada dalam rangkaian evolusi manusia atau tidak. Jawabnya manusia pawon adalah homo sapiens spesies yang sama dengan pembaca artikel ini (hahaha). Kalimat terakhir telah terucap dan kami digiring oleh pak Budi dengan perintah menggenakan masker untuk proteksi terhadap bau kotoran kelelawar yang lebih menyengat dari bau masakan ibu. Tidak lama kami melakukan pendakian untuk mencapai lokasi penemuan fosil manusia Pawon. Selama pendakian sesekali burung walet melintas diatas kepala sambil berteriak (karena tidak tepat rasanya jika disebut berkicau atau bersiul). Jalur yang kami lalui tergolong mudah dilewati, namun jika tidak berhati – hati maka gua ini akan menjadi tricky dan benturan langit - langit gua yang rendah dengan kepala adalah balasannya, seperti apa yang saya alami. Setelah menyaksikan sendiri replika fosil manusia gua Pawon karena fosil aslinya telah disimpan oleh Balai Arkeologi Bandung, kemudian pak Budi melakukan kuis trivia dengan ganjaran buku berjudul ‘Merahnya Batu Merah’. Setelah kuis terjawab dan buku dibagikan kamipun berfoto bersama dan sesegera mungkin kembali ke bus untuk kembali ke kampus.
Pengalaman yang menyenangkan dan jelas menambah wawasan. Jika kejaran panitia dengan diadakannya geotrek ini adalah memperkenalkan keilmuaan geologi kepada masa kampus maka mereka berhasil. Jika kejarannya adalah menumbuhkan rasa kesadaran dan kecintaan masa kampus terhadap bumi dan sejarah dibaliknya, maka merekapun berhasil karena itulah yang saya rasakan. Terimakasih atas kearifan yang telah panitia tunjukkan selama berlangsungnya acara. Semoga acara seperti ini dapat lebih banyak melibatkan masa kampus. Sukses!!

------
sumber : http://gultomberto.blogspot.com/2012/09/v-behaviorurldefaultvmlo.html
Selamat Membaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar