Karst Padalarang, 9 September
2012
Minggu pagi ini menjadi waktu
yang tepat untuk menggerakkan badan dan melihat citra kuasa tanganNya lewat
bentuk alam yang tebentang di atas cakrawala. Jadi tidak salah jika aku menjadi
salah satu peserta rombongan ‘Geotrek’ yang diadakan oleh HMTG ‘GEA’ ITB
sebagai salah satu kegiatan dari rangkaian GSC. Acara GSC ini menurut seorang
‘gea’ adalah proker dwi tahunan yang bertujuan mengenalkan ilmu geologi kepada
khalayak luas. Sehingga muncullah geotrek sebagai ‘ajakan’ kepada masa kampus
untuk melihat semenarik apa bidang geologi ini.
Tidak terlalu jauh (sekitar 20
km) dari Jl. Ganesha terdapat jajaran bukit karst di daerah Padalarang. Karst
berarti daerah yang terdiri dari batuan kapur atau batuan gamping yang unsur
utamanya adalah CaCO3 (kalsium karbonat) . Kalsium inilah yang
kemudian dapat diolah menjadi berbagai pemenuh kebutuhan sehari – hari manusia,
seperti cat tembok ; pasta gigi ; semen ; pemurnian gula ; dan lain – lain. Namun
alangkah terlalu biasanya jika perjalanan ini hanya untuk melihat daerah
pertambangan kapur tanpa suguhan fenomena alam. Proses pelarutan kapur menjadi
aktor utama dalam membentuk fenomena alam yang setidaknya membuat anda
tersenyum dan berdecak kagum. Proses ini terjadi dengan bantuan dua actor utama
yaitu air (H2O) dan udara (O2). Merekalah yang akhirnya
mengionisasi kalsium karbonat menjadi ion kalsium (Ca2+). Inilah
penyebab terbentuknya natural arch bridge pada gunung Hawu, atau fenomena yang
mungkin lebih familiar kita dengar stalagmit dan stalagtit pada langit – langit
maupun lantai gua. Rute geotrek pun diplot untuk memamerkan fenomena tersebut
dan Bapak Budi Brahmantyo bertindak sebagai ‘dalang’nya. Beliau adalah pengajar
di program studi geologi ITB dan ketua kelompok riset cekungan Bandung dan
Tasikmalaya. Kecintaan dan sensenya terhadap geologi mengantarnya kepada sebuah
capaian yaitu penemuan fosil manusia pawon yang umurnya sekitar 9000 - 5600
tahun yang lalu.
Natural Arch Bridge Gunung Hawu |
Gunung
Hawu menjadi awal dari perjalanan seru nan melelahkan hari itu. Di balik cerita
gunung Hawu, Pasir Pabeasan, dan Gua Pawon terdapat suatu cerita rakyat yang
menurut saya mengandung kesan jenaka. Hawu, pabeasan, dan pawon merupakan kata
bahasa Sunda yang berarti tungku perapian untuk memasak, tempat beras, dan
dapur. Sepengetahuan anda – maupun saya sebelum mendengar cerita dari Pak Budi - pastilah
legenda Sangkuriang hanya cerita asal muasal terbentuknya gunung Tangkuban
Perahu. Tetapi beberapa orang ‘menafsirkan’ ketika Sangkuriang marah, tidak
hanya perahunya saja yang ia tendang hingga terbalik namun sebelumnya ia sudah
memporakporandakan seisi dapurnya (pawon) hingga jatuhlah tungku (hawu) berikut
tempat berasnya (pabeasan). Jenaka memang jika cerita ini kita personifikasikan
akan sebesar apa tubuh Sangkuriang itu. Rombongan kemudian menelusuri jalan
setapak untuk naik ke atas dan saya berkesempatan berdiri tepat di bibir lubang
gunung Hawu tersebut yang jaraknya dengan kaki bukit menurut Pak Budi mencapai
90 meter. Gunung Hawu ini berdiri tidak sendirian. Ia berdiri sebelah selatan
dengan jajaran bukit yang membentang hingga Sukabumi dan Bogor. Jajaran bukit
tersebut yang sudah terbentuk sekitar 30 juta – 28 juta tahun silam ini
kemudian dikenal sebagai formasi Raja Mandala. Cara berdiri gunung ini yang
begitu tegap (sekitar 700 terhadap jurus horizontalnya) dan
dindingnya yang berlubang - lubang dimanfaatkan oleh para penyuka tantangan
untuk berolahraga wall climbing. Skygers
dan Kopasus secara rutin mengadakan latihannya di sini.
Hamparan Batu Stone Garden |
Puas
dengan panorama Gunung Hawu rombongan kembali ke bus untuk menuju ke lokasi
kedua yaitu stone garden. Testimoni
Pak Budi terhadap kawasan ini adalah sekitar jutaan tahun silam daerah ini
berada di bawah permukaan laut namun karena proses pergeseran lapisan tanah
sehingga lapisan ini mencuat hingga >800 mdpl. Pernyataan ini bukan bualan
karena memang ditemukan fosil koral dan binatang laut pada batuan di sini. Hal
yang menarik dari tempat ini adalah batuan batuan besar yang tersusun acak
namun indah. Di puncaknya terdapat sebuah makam yang oleh penduduk sekitar
namakan makam mbah Jambrong. Terdapat suatu keganjilan di sana karena terdapat
buah batu kali yang notabene ‘asing’ di ketinggian dan daerah karst seperti
itu. Diperkirakan pada zaman dahulu kala batu tersebut dibawa dan disusun
melingkar oleh sekelompok orang sebagai ritual pemujaan. Isu yang beredar
mengabarkan bahwa makam tersebut tak berpenghuni meskipun arah makamnya tepat
aturan pemakaman kaum muslim.
Perjalanan Menuju Gua Pawon |
Beranjak dari sana kami kemudian
menulusuri jalan setapak yang disebut tanjakkan frustasi. Tak heran dinamakan
seperti itu karena memang terrain dan
geometrinya yang cukup sulit untuk dilalui. Namun semua itu terbayar lunas
ketika kami tiba di saung dekat dengan Gua Pawon untuk beristirahat dan makan
siang. Tenaga dan semangat rombongan geotrek pulih kembali ketika kami
menyantap makanan yang disediakan panitia sambil beberapa orang mendirikan
ibadah sholat. Perjalanan berlanjut dengan kata pengantar dari Pak Budi, beliau
menceritakan kisah pribadinya dalam rangka pertemuannya dengan fosil manusia
pawon. Benak pasti bertanya, apakah ia spesies yang berada dalam rangkaian
evolusi manusia atau tidak. Jawabnya manusia pawon adalah homo sapiens spesies yang sama dengan
pembaca artikel ini (hahaha). Kalimat terakhir telah terucap dan kami digiring
oleh pak Budi dengan perintah menggenakan masker untuk proteksi terhadap bau
kotoran kelelawar yang lebih menyengat dari bau masakan ibu. Tidak lama kami
melakukan pendakian untuk mencapai lokasi penemuan fosil manusia Pawon. Selama
pendakian sesekali burung walet melintas diatas kepala sambil berteriak
(karena tidak tepat rasanya jika disebut berkicau atau bersiul). Jalur yang
kami lalui tergolong mudah dilewati, namun jika tidak berhati – hati maka gua
ini akan menjadi tricky dan benturan
langit - langit gua yang rendah dengan kepala adalah balasannya, seperti apa
yang saya alami. Setelah menyaksikan sendiri replika fosil manusia gua Pawon karena fosil
aslinya telah disimpan oleh Balai Arkeologi Bandung, kemudian pak Budi melakukan
kuis trivia dengan ganjaran buku berjudul ‘Merahnya Batu Merah’. Setelah kuis
terjawab dan buku dibagikan kamipun berfoto bersama dan sesegera mungkin
kembali ke bus untuk kembali ke kampus.
Pengalaman yang menyenangkan dan
jelas menambah wawasan. Jika kejaran panitia dengan diadakannya geotrek ini
adalah memperkenalkan keilmuaan geologi kepada masa kampus maka mereka
berhasil. Jika kejarannya adalah menumbuhkan rasa kesadaran dan kecintaan masa
kampus terhadap bumi dan sejarah dibaliknya, maka merekapun berhasil karena
itulah yang saya rasakan. Terimakasih atas kearifan yang telah panitia
tunjukkan selama berlangsungnya acara. Semoga acara seperti ini dapat lebih
banyak melibatkan masa kampus. Sukses!!
------
sumber : http://gultomberto.blogspot.com/2012/09/v-behaviorurldefaultvmlo.html
------
sumber : http://gultomberto.blogspot.com/2012/09/v-behaviorurldefaultvmlo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar